Teosentrisme

Pokok permasalahan

1.      Dalam kajian Teosentrime, apakah manusia:

a.       berkehendak bebas atau tidak

b.      kreatif atau tidak

c.       bertujuan atau tidak

d.      bertanggung jawab atau tidak

 

2.      Apa yang dimaksud manusiawi ?

 

Pendahuluan

Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentrime mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya. Singkatnya, teosentrisme lebih menekankan tentang keberpusatan pada Tuhan dibandingkan pada manusia (anthroposentrisme). 

Pada kajian yang lebih mendalam, teosentrisme berarti menegakan kejayaan Tuhan dengan melakukan berbagai hal yang baik dan menghalau berbagai hal yang buruk. Terkait hal ini, perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci Quran menyatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk mengagungkan dan menyembah Allah SWT, seperti yang dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56: “dan tidak aku ciptakan jinn dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui pada kesatuan dan kekuasaan Allah SWT. Kehidupan merupakan perjuangan yang berkelanjutan antara kebajikan dan kejahatan. Sehingga, dalam memutuskan apa yang dapat dilakukan dan harus ditinggalkan, Muslim seharusnya mengacu pada tuntunan Quran dan Hadis. Keduanya merupakan pondasi dari hukum Islam atau shari’a. Tujuan shari’a adalah untuk menjadi panduan dalam pencapaian kebaikan dalam hidup, contohnya adalah keindahan karakter dan kehidupan, dan untuk menghindari berbagai hal yang merusak dan buruk. Mereka yang bersungguh-sungguh dan melakukan kebajikan akan dikaruniai dengan keabadian hidup di surga, sementara mereka yang condong pada keburukan akan dihukum di neraka.

Sementara kajian Kristiani juga mengandung banyak afirmasi mengenai konsep keberpusatan pada Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan: “semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan juga Kujadikan!” Dengan kata lain, tujuan akhir manusia di dunia ini adalah untuk mengagungkan Tuhan. Perspektif teosentrisme bahwa Tuhan meminta manusia untuk mengikuti hukum moralitas disajikan melalui uraian “mencitai Tuhan kita dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga, dan dengan sepenuh pikiran.”

Inilah sejatinya keutamaan dari teosentrisme – dalam mencari Tuhan dan mengagungkan-Nya di atas yang lainnya, manusia memenuhi tujuan dari penciptaannya. Santo Agustine mengatakan, “Engkau telah menciptakan kamu untuk diri-Mu, dan hati kami tidak tenang hingga mereka dapat beristirahat di diri-Mu.” Sementara dari kajian Islam, Imam Gazali, mengelaborasi sikap spiritual ketika ia menjelaskan pentingnya menumbuhkan taqwa dalam hati setiap Muslim.

Taqwa dalam Quran memiliki tiga arti. Pertama takut dan takjub; kedua kepatuhan dan penyembahan dan ketiga adalah membebaskan hati dari dosa, yang mana merupakan esensi dari taqwa.

Singkatnya, taqwa adalah melindungi diri dari kemurkaan dan hukuman Allah SWT dengan mematuhi anjuran dan mehindari larangan-Nya. Hal ini kembali lagi mengafirmasi kenyataan bahwa tujuan manusia dalam hidup ini adalah untuk mencari keridhaan Allah dengan menjalani hidup sesuai dengan petunjuk shari’a.

Akhirnya, dalam teologi modern, teosentrisme sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika lingkungan. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia sebagai pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka. Manusia seharusnya memikirkan semua, dari hewan hingga tumbuhan hingga ke manusia sendiri. Hal ini memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya menjaga dunia untuk generasi mendatang.”

Di Islam, konsep yang selaras dengan hal ini adalah konsep khalifah. Kita suci Al Quran menjelaskan hal ini sebagai berikut:

Renungkan saja ketika Allah berkata pada para malaikat: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (Al-Baqarah 2:30).

Sebagai kalifah, manusia dipandang sebagai yang pelindung dunia. Pada posisi ini, ia seharusnya tidak melakukan tindakan koruptif dalam berbagai bentuk pada dunia, ia seharusnya merawat hubungan baik antara sesama manusia dan mengabadikan keindahan dari dunia untuk generasi mendatang.

Pembahasan

Apakah manusia memiliki kehendak bebas dalam kajian Teosentrime ?

Terkait dengan berkehendak bebas, dalam kajian Teosentrisme, manusia masih diberikan kebebasan. Namun kebebasan dibatasi dalam ruang lingkup aturan Tuhan, dimana setiap perbuatan akan mendapatkan ganjaran, baik dan buruk.

Teosentrisme sangat menekankan fungsi kebebasan dalam kaitannya dengan peran manusia sebagai kalifah di muka bumi. Dalam peran tersebut, manusia dituntut untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntunan tertentu yang berorientasi pada pelestarian kehidupan dan keharmonisan hubungan.

 

 

Apakah manusia memiliki kreatifitas dalam kajian Teosentrime ?

Setiap manusia memiliki potensi kreatif. Kebebasan yang diberikan pada Teosentris menumbuhkembangkan aspek kreatifitas yang dimiliki manusia. Namun aspek kreatifitas yang dimaksud di sini mematuhi pada hukum-hukum Tuhan, atau dapat diistilahkan sebagai kreatifitas ilahiah. Perpaduan antara aspek kreatifitas manusia dan teosentrime merupakan pemicu lahirnya tradisi dan budaya pemujaan dan pengagungan Tuhan. Selain itu, dengan kreatifitasnya, manusia dapat mewujudkan berbagai tujuan yang dimilikinya, yang tentunya sesuai dengan ketetapan Tuhan.

Apakah manusia memiliki tujuan dalam kajian Teosentrime ?

Jika dikaji dari Teosentrisme, maka manusia sejatinya memiliki tujuan. Tujuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan akhir (end goals) dan tujuan perantara (mean goals). Tujuan perantara merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan akhir, yaitu mendapatkan keridhaan Tuhan. Tujuan perantara dibuat dan diwujudkan dengan tetap mengacu pada koridor aturan Tuhan.

Apakah manusia bertanggung jawab dalam kajian Teosentrime ?

Kembali lagi seperti yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, bahwa dalam kehidupannya manusia dapat memiliki banyak tujuan perantara. Berbagai tujuan perantara ini dibuat dan diwujudkan dengan mengacu pada hukum Tuhan. Penyimpangan terhadap hukum Tuhan, memberikan konsekuensi berupa dosa. Walaupun berbagai kesalahan tersebut dapat diampuni, namun berbagai dosa yang dilakukan secara disadari dan berkelanjutan, pada akhirnya menghambat perwujudan tujuan akhir, keridhaan Tuhan.

Sehingga singkatnya, manusia dalam mewujudkan tujuan perantaranya, harus selalu menjaga langkahnya untuk tidak melanggar aturan Tuhan. Dengan kata lain manusia memiliki tanggung jawab untuk selalu menjaga setiap langkahnya dalam kehidupan.

 

Apa yang dimaksud manusiawi ?

Dalam mewujudkan tujuannya, manusia dihadapi oleh banyak pilihan. Dalam penentuan pilihan, tidak jarang manusia tidak mematuhi ketentuan Tuhan, baik disadari ataupun tidak. Hukum Tuhan merupakan hukum ideal. Tidak ada satupun manusia yang dapat sepenuhnya dan secara sempurna mengikuti hukum Tuhan, tanpa melakukan penyimpangan.

Namun demikian, hal tersebut tidak diartikan sebagai arahan untuk tidak mengikuti aturan Tuhan. Sejatinya hal yang terpenting adalah memperbaiki kesalahan seketika disadari. Selain itu, manusia juga perlu terus meningkatkan pemahamannya sehingga ia dapat menyadari esensi dari berbagai hukum Tuhan. Dengan demikian ia tidak terperangkap pada kepatuhan buta, yang sering kali sangat membebani untuk dipatuhi. Singkatnya, dari berbagai kesalahan manusia belajar, dan dengan belajar manusia dapat terhindar dari kesalahan. Dan inilah sejatinya hal yang manusiawi.

Fallor ergo sum (i err, therefore i am) – St. Augustine

 

~ oleh primastudy pada April 21, 2012.

Tinggalkan komentar